Friday, June 07, 2013

Sekolah dambaan ku -Blog competiton-





"Saat melihat berita ini dari mention twitter, saya merasa tertarik  untuk mengikuti kompetisi ini. Kenapa? Bukan masalah hadiah tapi memang banyak yang hal yang ingin saya keluhkan, dan pengalaman terpendam menyesak keluar ingin diungkapkan. Dan ajang ini saya rasa adalah wadah yang baik untuk evaluasi pendidikan Indonesia."






Sekolah dambaanku? mmmh......
Aku berpikir keras untuk mengetahui seperti apa sekolah dambaanku. karena aku merasa selama ini sekolah dambaan terasa tidak realita. aku hanya dapat mengikuti apa yang ada. lalu apa yang membuat sekolah dambaanku samar dimataku?
apa mungkin hal-hal ini yang menyebabkannya? kita akan membahasnya satu-persatu. dan pastinya ini menurut saya. mohon maaf jika ada kesalahan atau menyinggung pihak yang bersangkutan. okee langsung cekidot ke tee..kaa..pee..!!

1. Guru
Guru adalah pahlawan tanpa jasa yang sangat di elu-elukan di lagu-lagu wajib. Citra guru seakan memberikan pelita untuk generasi penerus bangsa. Namun, kenyataannya saat ini banyak guru yang moralnya merosot, seperti melakukan tindak korupsi, kekerasan fisik, psikis dan seksual, dll. walaupun tidak semua. tetapi bagaimana jika guru yang seharusnya menjadi teladan bagi siswanya malah melakukan hal yang tercela?
         Saat ini banyak guru yang masih menerapkan sistem kolonial ‘guru selalu benar’. Walaupun tidak semua guru, namun guru yang seperti ini bisa membuat siswa ketakutan untuk aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Jika sistem ini diberlakukan sejak sekolah dasar, maka tak heran banyak pelajar SMA yang tidak berani maju ke depan kelas jika disuruh oleh guru. Contohnya saya sendiri :D
                Kemudian, memang guru diwajibkan untuk menyandang jenjang S1, namun untuk urusan psikologi banyak guru yang masih jauh dibawah karena lagi-lagi masih menerapkan hukuman system kolonial yang membuat siswa takut, bukan jera dan mengerti arti guru tersebut memberikan hukuman. Selain itu banyak guru yang menerapkan sistem belajar tertentu, padahal cara belajar siswa pasti berbeda-beda. Akhirnya muncullah anak-anak yang dianggap bodoh, malas dsb yang sebenarnya mereka hanya tidak mampu menangkap dengan cara mengajar guru. Sedangkan siswa yang mampu menangkap cara mengajar tersebut akan di anak emas kan. Hal itu membuat kesenjangan sosial yang nyata di kalangan siswa sekolah. Karena saya pun mengalami hal tersebut. selain itu ada guru yang tidak memperbolehkan kami memakai cara kami untuk mengerjakan soal. padahal cara itu lebih cepat dan lebih kami pahami. "harus sama seperti cara saya" atau "cara ini gaada di buku." itu statement guru. bapak ibu guru, bahkan buku diciptakan oleh otak manusia. jangan suruh otak kami mengikuti buku, tapi biarkan buku yang mengikuti otak kami.
                Jadi percayalah, kami tidak butuh gelar dari guru pengajar. Asal guru tersebut menguasai pelajaran dengan sangat baik, mampu menjelaskan pelajaran kepada siswa dengan cara yang fun, inovatif, dan komunikatif terhadap siswanya. Kami pasti akan kooperatif terhadap guru tersebut.  
Jangan buat kami takut, karena kami akan mencari cara untuk membangkang. Tapi buatlah kami nyaman, karena kami pasti akan hormat dan segan


2. Fasilitas dan Lingkungan Sekolah
Fasilitas. Memang setiap sekolah di daerah memiliki fasilitas yang berbeda pula. Namun masalah yang pasti terjadi di semua sekolah adalah pemanfaatan fasilitas. Misalnya lab computer sekolah. Di sekolah saya sendiri, pemanfaatan lab computer terasa tidak maksimal. Kenapa?  Karena jumlah computer bahkan kurang dari jumlah siswa. Bahkan ada beberapa computer yang tidak dapat berfungsi dengan semestinya. Padahal pemerintah mencangangkan ‘melek IT’ untuk siswa-siswa Indonesia.
Tapi apa jadinya kalau computer saja tidak dapat berfungsi dengan baik sehingga kami harus numpang sana-sini dengan teman yang memiliki computer? Tidak akan ada proses KBM yang maksimal bukan? –karena saya mengalami numpang sana-sini, bahkan dari SMP. Padahal SMP saya termasuk bagus dengan gelar SSN- Untuk fasilitas, memang sekolah tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Karena saya akui, siswa pun ikut andil dalam perawatan fasilitas sekolah. Dan seringkali ada tangan-tangan jahil siswa yang mengotori bahkan fasilitas sekolah.
                Lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah pun penting bagi pembentukan kepribadian siswa. Yang saya soroti disini lebih kepada  orang-orang di lingkungan sekolah. Karena untuk masalah sampah, taman dan penghijauan sekolah pasti anda sudah puas melihat pembahasannya dimana-mana.
Pertama. Office boy (OB) sekolah. Seringkali OB sekolah bertingkah kasar terhadap siswa. Misalnya membentak siswa yang masih ada dikelas saat kelas mau dibersihkan, tanpa mau tahu alasannya, bahkan memukul siswa tersebut. Pengalaman teman saya, saat sedang ada eskul di kelas tiba-tiba OB masuk dan melemparkan gelas plastik yang masih berisi es dari belakang kelas di depan anak-anak dan Pembina eskul. Apa itu masih bisa di tolerir?
 Itu yang saya alami di sekolah. Kami masih remaja, jadi tidak sepenuhnya salah kalau kami melakukan hal-hal aneh di lingkungan sekolah. Tidak bisakah para OB berlaku ramah terhadap kami? kami juga akan mengerti bila diberitahu baik-baik.
Lalu, para staff sekolah. Apa kalian pernah saat meminta kejelasan tentang dokumen sekolah, kalian malah di oper-oper ke semua staff sekolah? Sangat melelahkan bukan? Dan wajah-wajah staff yang ‘jutek’ akan menemui kalian saat ke ruang tata usaha bahkan perpustakaan?   Tugas mereka bukan hanya terhadap orang tua dan guru, tetapi juga dengan kami. tidak bisakah kalian tidak hanya ramah terhadap orang tua kami? tetapi juga pada kami? tolong jangan persulit kami mengurus berkas sekolah.
Selain itu petugas perpustakan yang tidak friendly dan cenderung ribet terhadap siswa akan menyebabkan siswa malas ke perpustakaan. Kalau siswa malah ke perpustakaan otomatis siswa malah membaca. Menurut saya itulah yang menyebabkan kesadaran membaca orang Indonesia sangat rendah dibanding Negara-negara lainnya.
                Jadi kesimpulan saya, akan sangat baik jika orang-orang di lingkungan sekolah pun dibekali ilmu psikologi. Karena mereka berurusan dengan anak remaja yang masih labil dan berkemungkinan melakukan hal-hal negatif jika tidak dibina dengan baik.


 3.   Tugas dan pekerjaan rumah
                   Tugas. Adalah hal yang selama ini masih menjadi momok bagi siswa. Tapi sadarkah anda jika hakikat tugas dan pekerjaan sudah bergeser dari yang semestinya?
                   Semestinya tugas dan PR bertujuan untuk melatih siswa agar siswa bisa paham aras materi yang diajarkan guru disekolah. Namun sekarang tugas dan PR hanya berakhir untuk angka dengan tinta merah yang bernama : nilai.
             Dari pengalaman saya, pemahaman tugas dan PR yang hanya untuk nilai sudah tertanam di mindset anak. Jadi muncul paham ‘yang penting ngerjain’. Tanpa mengerti apa yang dikerjakan. Bahkan nyontek massal pun menjadi tren pelajar. Dari memfotokopi tugas teman, tak ketinggalan di social media. Saya tidak bermaksud munafik karena saya akui, saya pun pernah menyontek PR. tapi itu saya gunakan sebagai referensi. Jadi saya tetap mengerjakan sendiri dan paham atas apa yang saya kerjakan. Masalahnya, banyak dari pelajar yang hanya copy paste (copas) pekerjaan orang tanpa mengerti apa yang dimaksud, sehingga nilai-nilai tugas bagus, tapi ketika ulangan nilai jeblok.
                  Selain itu, guru yang killer pasti akan memarahi habis-habisan anak yang tidak mengerjakan PR dan menghukumnya keluar kelas. seperti yang saya katakan di poin pertama, anak yang di kerasin pasti akan membangkang. Dan seperti pengalaman disekolah saya. Ada kelas yang seluruh siswanya dikeluarkan dari kelas karena tidak mengerjakan PR. menurut mereka, itu solidaritas untuk melawan guru tersebut.
                Jadi menurut saya, guru harus ambil bagian untuk mengembalikan tugas dan PR ke hakikat yang semestinya agar tidak terjadi pencontekan yang membudaya. bagaimana caranya? ubah mindset anak agar tidak mengerjakan tugas hanya untuk nilai. tetapi untuk memahaminya.dan pastinya, ajarkan dan terapkan nilai-nilai kejujuran sejak dini.

4. Hubungan antarsiswa
                Sekolah adalah wadah dimana selain tempat pembelajaran secara akademik, juga tempat untuk mengembangkan jiwa social seorang anak.  Hal yang menarik disini adalah senioritas dan solidaritas yang berakhir dengan pembullyan. Pembullyan terjadi karena banyaknya geng-geng di sekolah. Baik itu laki-laki maupun perempuan. Biasanya perkumpulan/geng tersebut membully orang yang menentang mereka. Hal ini menyebabkan hal yang serius terhadap anak yang di bully. Yaitu rasa dendam. Orang yang dendam apalagi dengan keadaan jiwa yang labil bisa melakukan apapun untuk melampiskan gejolak yang mereka rasakan.
                Senioritas. Biasanya terjadi saat SMP dan SMA, jarang sekali terjadi saat SD walaupun ada. Mungkin ini terjadi saat masa orientasi sekolah (MOS). Namun sekarang, tidak lagi terjadi pada saat MOS. Tapi setelah MOS. Senior biasanya akan membully anak yang dikategorikan belagu, tengil dsb menurut mereka. Masalahnya jugakebanyakan sepele. Dari tempat nongkrong, gaya berpakaian, sampai masalah perebutan pasangan. Bentuk seniotitas sendiri antara lain pemalakan dan pembullyan atau bahasa gaulnya ngelabrak.
               Hal ini terjadi karena kesalahpahaman siswa yang berpikir ‘tingkat 1 = budak, tingkat 2 = ajudan, tingkat 3 = raja’. Akibatnya, junior yang dirugikan dalam konsep yang terus menurun dari generasi ke generasi ini. Hal ini juga berdampak pada kepercayaan diri anak yang tidak berkembang dan trauma psikis lainnya misalnya melakukan hal-hal negatif seperti mencuri uang orang tua untuk kakak kelas, berbohong bahkan bunuh diri.
                Solidaritas ada bagusnya jika untuk kepentingan positif seperti belajar bersama dan kekompakan kelas dan sekolah dalam ajang yang mengharumkan nama sekolah dan bangsa. Namun bagaimana bila solidaritas disalagunakan untuk kepentingan segolongan pihak?
                 Contoh yang sudah booming di masyarakat : tawuran pelajar. Itu adalah wujud solidaritas atas nama sekolah yang jelas-jelas salah. jangan jauh-jauh deeh, pernah bersolidaritas untuk tugas dan PR? seperti yang sudah dibahas di poin ketiga, PR dan tugas biasa dikerjakan melalui copy paste pekerjaan teman. Bagaimana rasanya jadi sumber yang sudah lelah semalaman mengerjakan tugas tapi tugas itu kemudian dicontek hanya dalam waktu lima belas menit oleh teman anda? Rela ga kalo ga dibayaar? –oke, itu Cuma gue yang berpikiran begitu kayaknya-
                 Pengalaman ini nyata buat saya. Kalau saya tidak memberi contekan, saya akan dibilang ‘ga solid’ dan akan dikucilkan dari pertemanan. Bahkan teman saya ada yang tugasnya di fotokopi oleh satu angkatan salah satu jurusan. Bayangkan. Tugas yang kita kerjakan sendiri di contek sekitar 150 orang. Dan dia harus rela. Demi pergaulan. Jelas, ini adalah pembullyan terselubung. Korbannya adalah anak-anak cupu nan cerdas yang biasanya masuk ke kaum minoritas yang tidak dapat menolak tuntutan pertemanan, seperti saya #narsis
                 Jadi menurut saya kembali lagi bagaimana pendidikan sikap sekolah yang harus direkonstruksi kembali, untuk penghapusan kebudayaan-kebudayaan ini agar terjatuhnya korban dimasa depan dapat diminimalisir, bahkan dihilangkan.

  5.      Harapan untuk pendidikan Indonesia ke depan.
                Semua pastinya berharap pendidikan Indonesia kedepan lebih baik lagi, bukan harapan yang membuat semuanya lebih baik. Tapi niat untuk berubah.  berharap agar semua masalah yang dituliskan di tulisan ini terselesaikan sehingga anak-anak Indonesia bisa menjadi manusia yang unggul di berbagai bidang dan bisa memajukan bangsanya tanpa campur tangan asing.

Kenapa saya tidak membahas panjang lebar tentang hubungan orang tua dan guru, mata pelajaran dan masalah ujian kelulusan? Karena saya merasa, hubungan orang tua dan guru bisa lebih mudah terselenggara karena guru dan orang tua biasanya sepikiran. Sedangkan untuk masalah mata pelajaran, mata pelajaran sekolah sudah terlalu banyak, kalau ditambah lagi malah akan membebani. Saya hanya berharap sekolah memberikan pengarahan tentang fungsi dan penerapan dari mata pelajaran yang di ajarkan. Bukan hanya menjadi teori dalam buku yang dilupakan. Dan masalah ujian kelulusan, saya rasa kebijakan 60% UN +40% US dan nilai rapor  ini sudah cukup manusiawi. Walaupun dalam pelaksanaannya masih jauh dari baik. Yang dibutuhkan hanya kejujuran dari pihak-pihak yang bersangkutan. Apakah itu siswa, guru maupun pemerintah.
Sekolah dambaanku sekarang mulai terbayang di benakku. sekolah yang tidak hanya terbaik dalam kertas dan menyabet akreditasi tertinggi, tetapi juga terbaik dalam etika, moral dan kejujuran yang di prioritaskan, dan terbukti membuat anak Indonesia unggul dalam segala bidang baik itu jasmani maupun rohani. kapan kita bisa mewujudkannya?


 -change for the change. Because without change, nothing change-

 Saya hanya berharap di masa depan, tulisan saya menjadi memori yang membuat saya dan pembaca lainnya tertawa mengingat masa lalu. dan tidak terjadi pada anak cucu kami.

1 comments:

Unknown said...

wah...ada cerita gue sama Ob galak disitu hehehe...ngemeng2 yang mention elu kan gue yak???

myzond.blogspot.com

Post a Comment