"Saat melihat berita ini dari mention twitter, saya merasa tertarik untuk mengikuti kompetisi ini. Kenapa? Bukan masalah hadiah tapi memang banyak yang hal yang ingin saya keluhkan, dan pengalaman terpendam menyesak keluar ingin diungkapkan. Dan ajang ini saya rasa adalah wadah yang baik untuk evaluasi pendidikan Indonesia."
Sekolah dambaanku? mmmh......
Aku berpikir keras untuk mengetahui seperti apa sekolah dambaanku. karena aku merasa selama ini sekolah dambaan terasa tidak realita. aku hanya dapat mengikuti apa yang ada. lalu apa yang membuat sekolah dambaanku samar dimataku?
apa mungkin hal-hal ini yang menyebabkannya? kita akan membahasnya satu-persatu. dan pastinya ini menurut saya. mohon maaf jika ada kesalahan atau menyinggung pihak yang bersangkutan. okee langsung cekidot ke tee..kaa..pee..!!
1. Guru
Guru adalah pahlawan tanpa jasa yang
sangat di elu-elukan di lagu-lagu wajib. Citra guru seakan memberikan pelita
untuk generasi penerus bangsa. Namun, kenyataannya saat ini banyak guru yang
moralnya merosot, seperti melakukan tindak korupsi, kekerasan fisik, psikis dan seksual, dll. walaupun tidak semua. tetapi bagaimana jika guru yang seharusnya menjadi teladan bagi siswanya malah melakukan hal yang tercela?
Saat ini banyak guru yang masih menerapkan sistem kolonial ‘guru selalu
benar’. Walaupun tidak semua guru, namun
guru yang seperti ini bisa membuat siswa ketakutan untuk aktif dalam kegiatan
belajar mengajar. Jika sistem ini diberlakukan sejak sekolah dasar, maka tak
heran banyak pelajar SMA yang tidak berani maju ke depan kelas jika disuruh
oleh guru. Contohnya saya sendiri :D
Kemudian, memang
guru diwajibkan untuk menyandang jenjang S1, namun untuk urusan psikologi
banyak guru yang masih jauh dibawah karena lagi-lagi masih menerapkan hukuman
system kolonial yang membuat siswa takut, bukan jera dan mengerti arti guru
tersebut memberikan hukuman. Selain itu banyak guru yang menerapkan sistem
belajar tertentu, padahal cara belajar siswa pasti berbeda-beda. Akhirnya
muncullah anak-anak yang dianggap bodoh, malas dsb yang sebenarnya mereka hanya
tidak mampu menangkap dengan cara mengajar guru. Sedangkan siswa yang mampu
menangkap cara mengajar tersebut akan di anak emas kan. Hal itu membuat
kesenjangan sosial yang nyata di kalangan siswa sekolah. Karena saya pun
mengalami hal tersebut. selain itu ada guru yang tidak memperbolehkan kami memakai cara kami untuk mengerjakan soal. padahal cara itu lebih cepat dan lebih kami pahami. "harus sama seperti cara saya" atau "cara ini gaada di buku." itu statement guru. bapak ibu guru, bahkan buku diciptakan oleh otak manusia. jangan suruh otak kami mengikuti buku, tapi biarkan buku yang mengikuti otak kami.
Jadi percayalah,
kami tidak butuh gelar dari guru pengajar. Asal guru tersebut menguasai
pelajaran dengan sangat baik, mampu menjelaskan pelajaran kepada siswa dengan
cara yang fun, inovatif, dan komunikatif terhadap siswanya. Kami pasti akan
kooperatif terhadap guru tersebut.
Jangan buat kami takut, karena kami akan
mencari cara untuk membangkang. Tapi buatlah kami nyaman, karena kami
pasti akan hormat dan segan
2. Fasilitas dan Lingkungan Sekolah
Fasilitas.
Memang setiap sekolah di daerah memiliki fasilitas yang berbeda pula. Namun
masalah yang pasti terjadi di semua sekolah adalah pemanfaatan fasilitas. Misalnya
lab computer sekolah. Di sekolah saya sendiri, pemanfaatan lab computer terasa
tidak maksimal. Kenapa? Karena jumlah
computer bahkan kurang dari jumlah siswa. Bahkan ada beberapa computer yang
tidak dapat berfungsi dengan semestinya. Padahal pemerintah mencangangkan
‘melek IT’ untuk siswa-siswa Indonesia.
Tapi
apa jadinya kalau computer saja tidak dapat berfungsi dengan baik sehingga kami
harus numpang sana-sini dengan teman yang memiliki computer? Tidak akan ada
proses KBM yang maksimal bukan? –karena saya mengalami numpang sana-sini,
bahkan dari SMP. Padahal SMP saya termasuk bagus dengan gelar SSN- Untuk
fasilitas, memang sekolah tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Karena saya akui,
siswa pun ikut andil dalam perawatan fasilitas sekolah. Dan seringkali ada
tangan-tangan jahil siswa yang mengotori bahkan fasilitas sekolah.
Lingkungan sekolah. Lingkungan
sekolah pun penting bagi pembentukan kepribadian siswa. Yang saya soroti disini
lebih kepada orang-orang di lingkungan
sekolah. Karena untuk masalah sampah, taman dan penghijauan sekolah pasti anda sudah puas melihat pembahasannya dimana-mana.
Pertama.
Office boy (OB) sekolah. Seringkali OB sekolah bertingkah kasar terhadap siswa.
Misalnya membentak siswa yang masih ada dikelas saat kelas mau dibersihkan,
tanpa mau tahu alasannya, bahkan memukul siswa tersebut. Pengalaman teman saya,
saat sedang ada eskul di kelas tiba-tiba OB masuk dan melemparkan gelas plastik
yang masih berisi es dari belakang kelas di depan anak-anak dan Pembina eskul.
Apa itu masih bisa di tolerir?
Itu yang saya alami di sekolah. Kami masih
remaja, jadi tidak sepenuhnya salah kalau kami melakukan hal-hal aneh di
lingkungan sekolah. Tidak bisakah para OB berlaku ramah terhadap kami? kami
juga akan mengerti bila diberitahu baik-baik.
Lalu,
para staff sekolah. Apa kalian pernah saat meminta kejelasan tentang dokumen
sekolah, kalian malah di oper-oper ke semua staff sekolah? Sangat melelahkan bukan? Dan wajah-wajah
staff yang ‘jutek’ akan menemui kalian saat ke ruang tata usaha bahkan
perpustakaan?
Tugas mereka bukan hanya terhadap orang tua dan guru, tetapi juga dengan
kami. tidak bisakah kalian tidak hanya
ramah terhadap orang tua kami? tetapi juga pada kami? tolong jangan persulit kami mengurus berkas sekolah.
Selain
itu petugas perpustakan yang tidak friendly dan cenderung ribet terhadap siswa
akan menyebabkan siswa malas ke perpustakaan. Kalau siswa malah ke perpustakaan
otomatis siswa malah membaca. Menurut saya itulah yang menyebabkan kesadaran
membaca orang Indonesia sangat rendah dibanding Negara-negara lainnya.
Jadi
kesimpulan saya, akan sangat baik jika orang-orang di lingkungan sekolah pun
dibekali ilmu psikologi. Karena mereka berurusan dengan anak remaja yang masih
labil dan berkemungkinan melakukan hal-hal negatif jika tidak dibina dengan
baik.
3. Tugas dan pekerjaan rumah
Tugas.
Adalah hal yang selama ini masih menjadi momok bagi siswa. Tapi sadarkah anda
jika hakikat tugas dan pekerjaan sudah bergeser dari yang semestinya?
Semestinya
tugas dan PR bertujuan untuk melatih siswa agar siswa bisa paham aras materi
yang diajarkan guru disekolah. Namun
sekarang tugas dan PR hanya berakhir untuk angka dengan tinta merah yang
bernama : nilai.
Dari pengalaman saya, pemahaman
tugas dan PR yang hanya untuk nilai sudah tertanam di mindset anak. Jadi muncul
paham ‘yang penting ngerjain’. Tanpa mengerti apa yang dikerjakan. Bahkan
nyontek massal pun menjadi tren pelajar. Dari memfotokopi tugas teman, tak
ketinggalan di social media. Saya tidak bermaksud munafik karena saya akui,
saya pun pernah menyontek PR. tapi itu saya gunakan sebagai referensi. Jadi
saya tetap mengerjakan sendiri dan paham atas apa yang saya kerjakan.
Masalahnya, banyak dari pelajar yang hanya copy paste (copas) pekerjaan orang
tanpa mengerti apa yang dimaksud, sehingga nilai-nilai tugas bagus, tapi ketika
ulangan nilai jeblok.
Selain
itu, guru yang killer pasti akan memarahi habis-habisan anak yang tidak
mengerjakan PR dan menghukumnya keluar kelas. seperti yang saya katakan di poin
pertama, anak yang di kerasin pasti akan membangkang. Dan seperti pengalaman
disekolah saya. Ada kelas yang seluruh siswanya dikeluarkan dari kelas karena
tidak mengerjakan PR. menurut mereka, itu solidaritas untuk melawan guru
tersebut.
Jadi menurut saya, guru harus
ambil bagian untuk mengembalikan tugas dan PR ke hakikat yang semestinya agar
tidak terjadi pencontekan yang membudaya. bagaimana caranya? ubah mindset anak agar tidak mengerjakan tugas hanya untuk nilai. tetapi untuk memahaminya.dan pastinya, ajarkan dan terapkan nilai-nilai kejujuran sejak dini.
4. Hubungan antarsiswa
Sekolah
adalah wadah dimana selain tempat pembelajaran secara akademik, juga tempat
untuk mengembangkan jiwa social seorang anak.
Hal yang menarik disini adalah senioritas dan solidaritas yang berakhir
dengan pembullyan. Pembullyan terjadi karena banyaknya geng-geng di sekolah.
Baik itu laki-laki maupun perempuan. Biasanya perkumpulan/geng tersebut
membully orang yang menentang mereka. Hal ini menyebabkan hal yang serius
terhadap anak yang di bully. Yaitu rasa dendam. Orang yang dendam apalagi
dengan keadaan jiwa yang labil bisa melakukan apapun untuk melampiskan gejolak
yang mereka rasakan.
Senioritas.
Biasanya terjadi saat SMP dan SMA, jarang sekali terjadi saat SD walaupun ada.
Mungkin ini terjadi saat masa orientasi sekolah (MOS). Namun sekarang, tidak
lagi terjadi pada saat MOS. Tapi setelah MOS. Senior biasanya akan membully
anak yang dikategorikan belagu, tengil dsb menurut mereka. Masalahnya
jugakebanyakan sepele. Dari tempat nongkrong, gaya berpakaian, sampai masalah
perebutan pasangan. Bentuk seniotitas sendiri antara lain pemalakan dan
pembullyan atau bahasa gaulnya ngelabrak.
Hal ini
terjadi karena kesalahpahaman siswa yang berpikir ‘tingkat 1 = budak, tingkat 2 = ajudan, tingkat 3 = raja’.
Akibatnya, junior yang dirugikan dalam konsep yang terus menurun dari generasi
ke generasi ini. Hal ini juga berdampak pada kepercayaan diri anak yang tidak
berkembang dan trauma psikis lainnya misalnya melakukan hal-hal negatif
seperti mencuri uang orang tua untuk kakak kelas, berbohong bahkan bunuh diri.
Solidaritas
ada bagusnya jika untuk kepentingan positif seperti belajar bersama dan
kekompakan kelas dan sekolah dalam ajang yang mengharumkan nama sekolah dan
bangsa. Namun bagaimana bila solidaritas disalagunakan untuk kepentingan
segolongan pihak?
Contoh
yang sudah booming di masyarakat : tawuran pelajar. Itu adalah wujud
solidaritas atas nama sekolah yang jelas-jelas salah. jangan jauh-jauh deeh, pernah bersolidaritas untuk tugas dan PR? seperti yang sudah dibahas di poin
ketiga, PR dan tugas biasa dikerjakan melalui copy paste pekerjaan teman. Bagaimana
rasanya jadi sumber yang sudah lelah semalaman mengerjakan tugas tapi tugas itu
kemudian dicontek hanya dalam waktu lima belas menit oleh teman anda? Rela ga
kalo ga dibayaar? –oke, itu Cuma gue yang berpikiran begitu kayaknya-
Pengalaman
ini nyata buat saya. Kalau saya tidak memberi contekan, saya akan dibilang ‘ga
solid’ dan akan dikucilkan dari pertemanan. Bahkan teman saya ada yang tugasnya
di fotokopi oleh satu angkatan salah satu jurusan. Bayangkan. Tugas yang kita
kerjakan sendiri di contek sekitar 150 orang. Dan dia harus rela. Demi
pergaulan. Jelas, ini adalah pembullyan terselubung. Korbannya adalah anak-anak
cupu nan cerdas yang biasanya masuk ke kaum minoritas yang tidak dapat menolak
tuntutan pertemanan, seperti saya #narsis
Jadi
menurut saya kembali lagi bagaimana pendidikan sikap sekolah yang harus
direkonstruksi kembali, untuk penghapusan kebudayaan-kebudayaan ini agar terjatuhnya
korban dimasa depan dapat diminimalisir, bahkan dihilangkan.
5. Harapan untuk pendidikan Indonesia
ke depan.
Semua
pastinya berharap pendidikan Indonesia kedepan lebih baik lagi, bukan harapan
yang membuat semuanya lebih baik. Tapi niat untuk berubah. berharap agar semua masalah yang dituliskan
di tulisan ini terselesaikan sehingga anak-anak Indonesia bisa menjadi manusia
yang unggul di berbagai bidang dan bisa memajukan bangsanya tanpa campur tangan
asing.
Sekolah dambaanku sekarang mulai terbayang di benakku. sekolah yang tidak hanya terbaik dalam kertas dan menyabet akreditasi tertinggi, tetapi juga terbaik dalam etika, moral dan kejujuran yang di prioritaskan, dan terbukti membuat anak Indonesia unggul dalam segala bidang baik itu jasmani maupun rohani. kapan kita bisa mewujudkannya?Kenapa saya tidak membahas panjang lebar tentang hubungan orang tua dan guru, mata pelajaran dan masalah ujian kelulusan? Karena saya merasa, hubungan orang tua dan guru bisa lebih mudah terselenggara karena guru dan orang tua biasanya sepikiran. Sedangkan untuk masalah mata pelajaran, mata pelajaran sekolah sudah terlalu banyak, kalau ditambah lagi malah akan membebani. Saya hanya berharap sekolah memberikan pengarahan tentang fungsi dan penerapan dari mata pelajaran yang di ajarkan. Bukan hanya menjadi teori dalam buku yang dilupakan. Dan masalah ujian kelulusan, saya rasa kebijakan 60% UN +40% US dan nilai rapor ini sudah cukup manusiawi. Walaupun dalam pelaksanaannya masih jauh dari baik. Yang dibutuhkan hanya kejujuran dari pihak-pihak yang bersangkutan. Apakah itu siswa, guru maupun pemerintah.
-change for the
change. Because without change, nothing change-
Saya hanya
berharap di masa depan, tulisan saya menjadi memori yang membuat saya dan
pembaca lainnya tertawa mengingat masa lalu. dan tidak terjadi pada anak cucu kami.
1 comments:
wah...ada cerita gue sama Ob galak disitu hehehe...ngemeng2 yang mention elu kan gue yak???
myzond.blogspot.com
Post a Comment